Diponegoro
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dipanegara atau dikenal dengan gelar
Pangeran Dipanegara (
Bahasa Jawa:
Diponegoro) (lahir di
Yogyakarta,
11 November 1785 – meninggal di
Makassar,
Sulawesi Selatan,
8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di
Makassar.
Asal-usul Dipanegara
Dipanegara adalah putra sulung
Hamengkubuwono III, seorang raja
Mataram di
Yogyakarta. Lahir pada tanggal
11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama
Mustahar dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama
R.A. Mangkarawati, yaitu seorang
garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari
Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil
Raden Mas Antawirya (
Bahasa Jawa:
Ontowiryo).
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan
hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah
permaisuri. Dipanegara mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di
Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai
sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (
1822)
dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan
sehari-hari dipegang oleh
Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.
Riwayat perjuangan
Patung Pangeran Dipanegara yang sedang menaiki kuda "
Turangga Seta" di
Undip
Perang Diponegoro berawal ketika pihak
Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa
Tegalrejo.
Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat
dengan pembebanan pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran
Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama
Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah
perang sabil, perlawanan menghadapi kaum
kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan
Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta,
Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan
Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada
siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara
ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri,
kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung
dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di
seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila
suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi;
begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah
ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu
dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan
untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama;
karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada
bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama
dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan
tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata
dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan
mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan
“musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah
dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara.
Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan
Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu
wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa
timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini
adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun
metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui
taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau
perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat
yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi
dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase)
dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot
Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di
sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar
hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan
Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000
orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta
Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX
memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu
Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah
bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
[rujukan?]
Penangkapan dan pengasingan
Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Dipanegara kepada Jenderal De Kock".
- 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang.
De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda
telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
- 30 April 1830
keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti
Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
- 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Lokasi makam Pangeran Dipanegara di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya
bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di
wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan
Raden Ayu Citrawati Puteri Bupati Madiun Raden Rangga. Raden Ayu
Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo.
Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah
masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam
pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo
dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui
tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih
Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan
Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai
barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya
pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak
tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak
turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda.
Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon
yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung
perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan
restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro
yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah
paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri,
yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia,
termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Penghargaan sebagai Pahlawan
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di
beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang
sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan
senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara
lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro,
Universitas Diponegoro,
Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung
Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara
serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Referensi
- Carey, P.B.R. Babad Dipanagara : an account of the outbreak of the Java War (1825-30) : the Surakarta court version of the Babad Dipanagara.
Kuala Lumpur: Printed for the Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing
Works, 1981. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland. Malaysian Branch); no.9
- Sagimun M. D. Pangeran Diponegoro : Pahlawan nasional. Jakarta: Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.
- Yamin, M. Sedjarah peperangan Diponegoro : pahlawan kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Pembangunan, 1950